JAKARTA - Demisioner Forum Alumni BEM ( FABEM) seluruh Indonesia mengapresiasi langkah Badan Eksekutif Mahasiswa Unversitas Djuanda Bogor yang telah melakukan kajian informasi di era hoax melalui sekolah kajian strategis yang berfokus kepada gerakan literasi dan Advokasi kepada masyarakat.
Menenurut FABEM, di era serbuan informasi hoax sangat mengkhawatirkan masa depan generasi bangsa. Untuk itu peran mahasiswa sangat dibutuhkan dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat di era digital ini.
" Peran Badan Eksekutif Mahasiswa sangat di butuhkan oleh masyarakat, BEM merupakan tulang punggung kemajuan bangsa kedepan, upaya yang saat dilakukan BEM FIPHAL Unversitas Djuanda Bogor dalam melakukan kajian strategis dalam bidang literasi dan advokasi sangat tepat dilakukan di era Post Truth" ujar Rafli Maulana Demisioner Forum Alumni BEM Se Indonesia. (25/02/23).
FABEM juga meminta kepada pemerintah dan pihak kampus mendukung secara penuh kegiatan-kegiatan postif yang dilakukan BEM, menurutnya kemajuan suatu daerah dan kampus ada ditangan eksekutif mahasiswa.
" BEM merupakan corong kampus dan masa depan negara, jadi pihak kampus dan pemerintah harus mendukung sepenuhnya kegiatan kegiatan BEM", ujarnya.
Sementara itu BEM FIPHAL Djuanda Bogor menuliskan Gerakan Literasi di Indonesia telah digulirkan sejak 2015 oleh pemerintah, diawali oleh Gerakan Literasi Sekolah (GLS) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayan Nomor 23 Tahun 2015. Kata literasi sudah lebih popular di telinga masyarakat Indonesia dibandingkan dengan kata kemahirwacanaan, melek aksara, dan keberaksaraan. Bukan hanya sekedar kata, tapi literasi memiliki arti yang penting dan luas.
Literasi merupakan seperangkat keterampilan nyata, khususnya keterampilan kognitif seperti membaca dan menulis yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dan dari siapa memperolehnya. Literasi bukan hanya dari keterampilan membaca dan menulis saja, tetapi juga mencakup bagaimana seseorang dapat berkomunikasi langsung dalam bermasyarakat, membaca atau mengetahui situasi yang tengah terjadi di masyarakat.
Indonesia sudah berhasil dalam mengurangi angka buta huruf. Tercatat bahwa kemelekan huruf pada kelompok dewasa 92, 8 %, sedangkan pada kelompok remaja mencapai 98, 8%, data tersebut didapat dari (UNDP) United Nations Development Programme pada tahun 2014.
Akan tetapi minat membaca masih rendah baik dikalangan dewasa maupun remaja. dengan berbagai alasan yang muncul seperti pengaruh media audio
visual. Sebenarnya perkembangan budaya membaca ini bukan hanya sekedar fenomena perkembangan zaman, akan tetapi kebutuhan serta kepentingan masyarakat didalam menghargai terhadap buku-buku yang berisi pengetahuan.
Budaya membaca dan menulis tentu tidak diharapkan punah, dengan kemajuan teknologi informasi yang saat ini sudah berkembang pesat, seharusnya tidak menutup kemungkinan terhadap perkembangan budaya literasi yang mengharuskan masyarakat terkhususnya bagi seorang pelajar dalam memahami informasi secara kritis, analitis dan reflektif, agar informasi yang sudah di
evaluasi dari proses tersebut mendapatkan informasi yang relevan bermanfaat untuk diri sendiri maupun sosial.
Setiap harinya informasi diproduksi secara masal dan luar biasa melimpah, hal tersebut menghasilkan apa yang disebut dengan keberlimparuahan informasi (informasi overload). Dulu, berbagai informasi diperoleh secara terbatas melalui media cetak, seperti jurnal, buku, koran, majalah, tabloid, dan surat biasa. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, penyampaian dan penerimaan pesan melesit tanpa batas ruang dan waktu.
Sebanyak-banyak pesan tidak lagi dibatasi ruang tulis dan waktu, baik waktu penyampaian maupun waktu penerimaannya. Pesan keluar dan masuk bergerak secepat jatuhnya ujung jari di tombol perangkat komunikasi. Inilah yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan yang baik di dalam kaitannya dengan informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan.
Indonesia telah memasuki era post-trush, ditandai dengan merebaknya berita hoax di media sosial, kebimbangan media dan jurnalisme khususnya dalam menghadapi penyataan - pernyataan bohong dari politisi. Fenomena post-truth terkait mudahnya informasi dibuat oleh siapapun dan menyebar di media sosial, mengikuti kecenderungan emosi masyarakat.
Dalam kata lain post-truth sengaja dikembangkan guna mengolah sentiment masyarakat sehingga bagi yang kurang kritis akan dengan mudah terpengaruh yang diwujudkan dalam bentuk empati dan simpati terhadap agenda politik tertentu yang sedang diskenariokan.
Seiring dengan kemajuan perkembangan menusia dan informasi dibutuhkan kemampuan literasi informasi terutama bagi para pengelola informasi dan pengguna informasi. Meningkatkan kemampuan literasi sangat diperlukan karena Dengan literasi, tingkat pemahaman seseorang dalam mengambil kesimpulan dari informasi yang diterima menjadi lebih baik. Membantu orang berpikir secara kritis, dengan tidak mudah terlalu cepat bereaksi terhadap informasi yang didapat dari media massa atau selainnya. ***
Baca juga:
Rudi Ajak Guru TPQ Sambut Kemuliaan Ramadan
|